Archive for December, 2004

Gunung Jangan Pula Meletus

December 31, 2004

Oleh Emha Ainun Nadjib

KHUSUS untuk bencana Aceh, saya terpaksa menemui Kiai Sudrun. Apakah kata mampu mengucapkan kedahsyatannya? Apakah sastra mampu menuturkan kedalaman dukanya? Apakah ilmu sanggup menemukan dan menghitung nilai-nilai kandungannya?

Wajah Sudrun yang buruk dengan air liur yang selalu mengalir pelan dari salah satu sudut bibirnya hampir membuatku marah. Karena tak bisa kubedakan apakah ia sedang berduka atau tidak. Sebab, barang siapa tidak berduka oleh ngerinya bencana itu dan oleh kesengsaraan para korban yang jiwanya luluh lantak terkeping- keping, akan kubunuh. “Jakarta jauh lebih pantas mendapat bencana itu dibanding Aceh!,” aku menyerbu. “Kamu juga tak kalah pantas memperoleh kehancuran,” Sudrun menyambut dengan kata- kata yang, seperti biasa, menyakitkan hati.”Jadi, kenapa Aceh, bukan aku dan Jakarta?” “Karena kalian berjodoh dengan kebusukan dunia, sedang rakyat Aceh dinikahkan dengan surga.” “Orang Aceh-lah yang selama bertahun-tahun terakhir amat dan paling menderita dibanding kita senegara, kenapa masih ditenggelamkan ke kubangan kesengsaraan sedalam itu?” “Penderitaan adalah setoran termahal dari manusia kepada Tuhannya sehingga derajat orang Aceh ditinggikan, sementara kalian ditinggalkan untuk terus menjalani kerendahan.” “Termasuk Kiai….”Cuh! Ludahnya melompat menciprati mukaku. Sudah biasa begini. Sejak dahulu kala. Kuusap dengan kesabaran.”Kalau itu hukuman, apa salah mereka? Kalau itu peringatan, kenapa tidak kepada gerombolan maling dan koruptor di Jakarta? Kalau itu ujian, apa Tuhan masih kurang kenyang melihat kebingungan dan ketakutan rakyat Aceh selama ini, di tengah perang politik dan militer tak berkesudahan? “Sudrun tertawa terkekeh-kekeh. Tidak kumengerti apa yang lucu dari kata-kataku. Badannya terguncang-guncang.”Kamu mempersoalkan Tuhan? Mempertanyakan tindakan Tuhan? Mempersalahkan ketidakadilan Tuhan?” katanya.Aku menjawab tegas, “Ya.” “Kalau Tuhan diam saja bagaimana?” “Akan terus kupertanyakan. Dan aku tahu seluruh bangsa Indonesia akan terus mempertanyakan.” “Sampai kapan?” “Sampai kapan pun!” “Sampai mati?” “Ya!” “Kapan kamu mati?” “Gila!” “Kamu yang gila. Kurang waras akalmu. Lebih baik kamu mempertanyakan kenapa ilmumu sampai tidak mengetahui akan ada gempa di Aceh. Kamu bahkan tidak tahu apa yang akan kamu katakan sendiri lima menit mendatang. Kamu juga tidak tahu berapa jumlah bulu ketiakmu. Kamu pengecut. Untuk apa mempertanyakan tindakan Tuhan. Kenapa kamu tidak melawanNya. Kenapa kamu memberontak secara tegas kepada Tuhan. Kami menyingkir dari bumiNya, pindah dari alam semestaNya, kemudian kamu tabuh genderang perang menantangNya!” “Aku ini, Kiai!” teriakku, “datang kemari, untuk merundingkan hal-hal yang bisa menghindarkanku dari tindakan menuduh Tuhan adalah diktator dan otoriter….”Sudrun malah melompat- lompat. Yang tertawa sekarang seluruh tubuhnya. Bibirnya melebar-lebar ke kiri-kanan mengejekku.”Kamu jahat,” katanya, “karena ingin menghindar dari kewajiban.” “Kewajiban apa?” “Kewajiban ilmiah untuk mengakui bahwa Tuhan itu diktator dan otoriter. Kewajiban untuk mengakuinya, menemukan logikanya, lalu belajar menerimanya, dan akhirnya memperoleh kenikmatan mengikhlaskannya. Tuhan-lah satu-satunya yang ada, yang berhak bersikap diktator dan otoriter, sebagaimana pelukis berhak menyayang lukisannya atau merobek-robek dan mencampakkannya ke tempat sampah. Tuhan tidak berkewajiban apa- apa karena ia tidak berutang kepada siapa-siapa, dan keberadaanNya tidak atas saham dan andil siapa pun. Tuhan tidak terikat oleh baik buruk karena justru Dialah yang menciptakan baik buruk. Tuhan tidak harus patuh kepada benar atau salah, karena benar dan salah yang harus taat kepadaNya. Ainun, Ainun, apa yang kamu lakukan ini? Sini, sini…” -ia meraih lengan saya dan menyeret ke tembok- “Kupinjamkan dinding ini kepadamu….” “Apa maksud Kiai?,” aku tidak paham. “Pakailah sesukamu.” “Emang untuk apa?” “Misalnya untuk membenturkan kepalamu….” “Sinting!” “Membenturkan kepala ke tembok adalah tahap awal pembelajaran yang terbaik untuk cara berpikir yang kau tempuh. “Ia membawaku duduk kembali. “Atau kamu saja yang jadi Tuhan, dan kamu atur nasib terbaik untuk manusia menurut pertimbanganmu?,” ia pegang bagian atas bajuku. “Kamu tahu Muhammad?”, ia meneruskan, “Tahu? Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa alihi wasallah, tahu? Ia manusia mutiara yang memilih hidup sebagai orang jelata. Tidak pernah makan kenyang lebih dari tiga hari, karena sesudah hari kedua ia tak punya makanan lagi. Ia menjahit bajunya sendiri dan menambal sandalnya sendiri. Panjang rumahnya 4,80 cm, lebar 4,62 cm. Ia manusia yang paling dicintai Tuhan dan paling mencintai Tuhan, tetapi oleh Tuhan orang kampung Thaif diizinkan melemparinya dengan batu yang membuat jidatnya berdarah. Ia bahkan dibiarkan oleh Tuhan sakit sangat panas badan oleh racun Zaenab wanita Yahudi. Cucunya yang pertama diizinkan Tuhan mati diracun istrinya sendiri. Dan cucunya yang kedua dibiarkan oleh Tuhan dipenggal kepalanya kemudian kepala itu diseret dengan kuda sejauh ratusan kilometer sehingga ada dua kuburannya. Muhammad dijamin surganya, tetapi ia selalu takut kepada Tuhan sehingga menangis di setiap sujudnya. Sedangkan kalian yang pekerjaannya mencuri, kelakuannya penuh kerendahan budaya, yang politik kalian busuk, perhatian kalian kepada Tuhan setengah-setengah, menginginkan nasib lebih enak dibanding Muhammad? Dan kalau kalian ditimpa bencana, Tuhan yang kalian salahkan? “Tangan Sudrun mendorong badan saya keras-keras sehingga saya jatuh ke belakang. “Kiai,” kata saya agak pelan, “Aku ingin mempertahankan keyakinan bahwa icon utama eksistensi Tuhan adalah sifat Rahman dan Rahim….” “Sangat benar demikian, ” jawabnya, “Apa yang membuatmu tidak yakin?” “Ya Aceh itu, Kiai, Aceh…. Untuk Aceh-lah aku bersedia Kiai ludahi.” “Aku tidak meludahimu. Yang terjadi bukan aku meludahimu. Yang terjadi adalah bahwa kamu pantas diludahi.” “Terserah Kiai, asal Rahman Rahim itu….” “Rahman cinta meluas, Rahim cinta mendalam. Rahman cinta sosial, Rahim cinta lubuk hati. Kenapa?” “Aceh, Kiai, Aceh.” “Rahman menjilat Aceh dari lautan, Rahim mengisap Aceh dari bawah bumi. Manusia yang mulia dan paling beruntung adalah yang segera dipisahkan oleh Tuhan dari dunia. Ribuan malaikat mengangkut mereka langsung ke surga dengan rumah-rumah cahaya yang telah tersedia. Kepada saudara- saudara mereka yang ditinggalkan, porak poranda kampung dan kota mereka adalah medan pendadaran total bagi kebesaran kepribadian manusia Aceh, karena sesudah ini Tuhan menolong mereka untuk bangkit dan menemukan kembali kependekaran mereka. Kejadian tersebut dibikin sedahsyat itu sehingga mengatasi segala tema Aceh Indonesia yang menyengsarakan mereka selama ini. Rakyat Aceh dan Indonesia kini terbebas dari blok-blok psikologis yang memenjarakan mereka selama ini, karena air mata dan duka mereka menyatu, sehingga akan lahir keputusan dan perubahan sejarah yang melapangkan kedua pihak”. “Tetapi terlalu mengerikan, Kiai, dan kesengsaraan para korban sukar dibayangkan akan mampu tertanggungkan.””Dunia bukan tempat utama pementasan manusia. Kalau bagimu orang yang tidak mati adalah selamat sehingga yang mati kamu sebut tidak selamat, buang dulu Tuhan dan akhirat dari konsep nilai hidupmu. Kalau bagimu rumah tidak ambruk, harta tidak sirna, dan nyawa tidak melayang, itulah kebaikan; sementara yang sebaliknya adalah keburukan berhentilah memprotes Tuhan, karena toh Tuhan tak berlaku di dalam skala berpikirmu, karena bagimu kehidupan berhenti ketika kamu mati.” “Tetapi kenapa Tuhan mengambil hamba-hambaNya yang tak berdosa, sementara membiarkan para penjahat negara dan pencoleng masyarakat hidup nikmat sejahtera?” “Mungkin Tuhan tidak puas kalau keberadaan para pencoleng itu di neraka kelak tidak terlalu lama. Jadi dibiarkan dulu mereka memperbanyak dosa dan kebodohannya. Bukankah cukup banyak tokoh negerimu yang baik yang justru Tuhan bersegera mengambilnya, sementara yang kamu doakan agar cepat mati karena luar biasa jahatnya kepada rakyatnya malah panjang umurnya?” “Gusti Gung Binathoro!,” saya mengeluh, “Kami semua dan saya sendiri, Kiai, tidaklah memiliki kecanggihan dan ketajaman berpikir setakaran dengan yang disuguhkan oleh perilaku Tuhan.” “Kamu jangan tiba-tiba seperti tidak pernah tahu bagaimana pola perilaku Tuhan. Kalau hati manusia berpenyakit, dan ia membiarkan terus penyakit itu sehingga politiknya memuakkan, ekonominya nggraras dan kebudayaannya penuh penghinaan atas martabat diri manusia sendiri-maka Tuhan justru menambahi penyakit itu, sambil menunggu mereka dengan bencana yang sejati yang jauh lebih dahsyat. Yang di Aceh bukan bencana pada pandangan Tuhan. Itu adalah pemuliaan bagi mereka yang nyawanya diambil malaikat, serta pencerahan dan pembangkitan bagi yang masih dibiarkan hidup.” “Bagi kami yang awam, semua itu tetap tampak sebagai ketidakadilan….” “Alangkah dungunya kamu!” Sudrun membentak, “Sedangkan ayam menjadi riang hatinya dan bersyukur jika ia disembelih untuk kenikmatan manusia meski ayam tidak memiliki kesadaran untuk mengetahui, ia sedang riang dan bersyukur.””Jadi, para koruptor dan penindas rakyat tetap aman sejahtera hidupnya?” “Sampai siang ini, ya. Sebenarnya Tuhan masih sayang kepada mereka sehingga selama satu dua bulan terakhir ini diberi peringatan berturut-turut, baik berupa bencana alam, teknologi dan manusia, dengan frekuensi jauh lebih tinggi dibanding bulan-bulan sebelumnya. Tetapi, karena itu semua tidak menjadi pelajaran, mungkin itu menjadikan Tuhan mengambil keputusan untuk memberi peringatan dalam bentuk lebih dahsyat. Kalau kedahsyatan Aceh belum mengguncangkan jiwa Jakarta untuk mulai belajar menundukkan muka, ada kemungkinan….” “Jangan pula gunung akan meletus, Kiai!” aku memotong, karena ngeri membayangkan lanjutan kalimat Sudrun. “Bilang sendiri sana sama gunung!” ujar Sudrun sambil berdiri dan ngeloyor meninggalkan saya.”Kiai!” aku meloncat mendekatinya, “Tolong katakan kepada Tuhan agar beristirahat sebentar dari menakdirkan bencana-bencana alam….” “Kenapa kau sebut bencana alam? Kalau yang kau salahkan adalah Tuhan, kenapa tak kau pakai istilah bencana Tuhan?”Sudrun benar-benar tak bisa kutahan. Lari menghilang.

Layu Sebelum Berkembang

December 28, 2004
Ahad pagi kemarin, air mata mengalir deras di Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Maldives, Somalia, dan… Indonesia. Lebih dari 20 ribu jiwa telah pergi. Sangat banyak diantaranya adalah anak-anak, calon generasi penerus. Tak terbayangkan perasaan seorang mahasiswi UGM asal Banda Aceh -tempat dengan jumlah korban terbanyak- yang tak dapat mengetahui kondisi keluarganya, karena jaringan telepon yang terputus. Terlalu menyedihkan, terlalu memilukan untuk dikatakan. Tuhan telah menentukan datangnya bencana ini sebagai kebijaksanaanNya. Yang dapat kita lakukan hanyalah sujud tunduk padaNya.

Ya Tuhan, kami sadar dosa-dosa kami tak dapat terkatakan lagi, bahkan melebihi dahsyatnya tsunami yang Kau kirimkan…
Ya Rabbul ‘Izzati, dengan keperkasaanMu, kuncup-kuncup harapan kami telah terhempas, terhanyut, layu sebelum berkembang…
Ya Ghaffar, kami tunduk dengan segala ketetapanmu… maka dengan kasih sayangMu, ampunilah dosa-dosa kami…

…and to be firm and patient, in pain (or suffering) and adversity, and throughout all periods of panic. Such are the people of truth, the God-fearing. (Al Baqarah: 177)

i’m fadil the sailorman… tut tut!

December 27, 2004

tadi abis nonton finding nemo (yang kedua kali). it was still so entertaining, so deep…

pas closing creditnya, ada lagu beyond the sea yang dinyanyiin robbie williams dengan warna rada-rada jazzy (which is my fave);

somewhere beyond the sea

somewhere waiting for me

my lover stands on golden sands

and watches the ships that go sailing



somewhere beyond the sea

she’s there watching for me

and if i could fly

like birds on high

then straight to her arms

i go sailing



it’s far beyond the stars

it’s near beyond the moon

i know beyond the doubt

my heart will lead me there soon



we’ll meet beyond the shore

we’ll kiss just as before

happy we’ll be beyond the sea

and never again i’ll go sailing



it’s far beyond the stars

it’s near beyond the moon

i know, yes, i know beyond the doubt

my heart will lead me there soon



we’ll meet, i know we’ll meet beyond the shore

we’ll kiss just as before

and happy we’ll be beyond the sea

and never again i’ll go sailing



and never again i’ll go sailing



and never again i’ll go sai-ai-ailing yeah

life is like sailing across the ocean… till you meet the one, would you stop sailing, or would you continue sailing together…?


fehlen

December 26, 2004

Gott, sie ist… so ein liebreizendes maedchen!

December 25, 2004

if it makes you happy… 🙂

rubber time :D

December 21, 2004
Guys, masih inget ngga pelajaran bahasa Indonesia yang udah kita tekunin dari SD sampe kuliah? Bahasa kita ini tidak mengenal pola waktu seperti halnya bahasa Inggris. Kalimat: ‘saya makan’ dalam bahasa Indonesia dapat menunjukkan waktu kapan saja. Sedangkan dalam bahasa Inggris, kalimat: i eat; i ate; i have eaten, menunjukkan dimensi waktu yang berbeda-beda.

Bahasa menunjukkan budaya. Menurut seorang pakar linguistik, tidaklah mengherankan kalau bangsa melayu, khususnya Indonesia, memiliki budaya ‘ngaret’.

Old English Prayer

December 21, 2004
take time to be friendly…
it is the road to happiness

take time to dream…
it is hitching your wagon to a star

take time to love and to be loved…
it is the privilege of the gods

take time to look around…
it is too short a day to be selfish

take time to laugh…
it is the music of the soul

life is too precious to be wasted!

the way i felt…

December 18, 2004
who can say where the road goes
where the day flows,
only time
and who can say if your love grows
as your heart shows,
only time
who can say why your heart sighs
as your love flies,
only time
and who can say why your heart cries
when your love lies,
only time
who can say when the roads meet
that love might be,
in your heart
and who can say when the days sleeps
if the night keeps, all your heart
night keeps, all your heart
who can say if your love grows
as your heart shows
only time
and who can say where the road blows
where the day flows
only time
who knows, only time..
who knows, only time
(Enya – Only Time)

Untuk Seorang Kawan…

December 18, 2004

SMS pagi ini ditutup dengan kata-kata indah dari seorang kawan; …gw mulai nikmatin ngajar fad,mdh2an gw bisa jdi pendi2k yg baik&org ygberguna…

Di tengah carut-marutnya dunia pendidikan di negeri ini, apa lagi yang dapat diharapkan selain jiwa-jiwa pendidik yang tulus…

Untuk itu, beribu salut kuhaturkan untukmu kawan!

Hanya Sekedar Gengsi!

December 18, 2004
Bangsa kita memang lebih senang dengan hal-hal yang berbau prestige daripada hal-hal lain yang bermanfaat. Kita boleh saja berbangga diri dengan putra-putri terbaik kita yang kerapkali menjuarai IPHO, APHO, olimpiade komputer, atau yang baru-baru ini diselenggarakan di Jakarta, IJSO (International Junior Science Olympiad). Kita juga dapat saja ‘mencemooh’ negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura, atau bahkan negara-negara maju di Eropa sana yang sering kali gagal di ajang-ajang tersebut. Putra-putri terbaik itu tentu telah melalui tahap seleksi yang ketat dari sekolah-sekolah sampai akhirnya dikarantina di suatu tempat dan dilatih keras berjam-jam sehari dengan soal-soal dan rumus-rumus yang njlimet, dan tentu saja memakan biaya yang tidak sedikit.

Lalu apa yang terjadi setelah semua ini? Setelah mereka tersenyum bangga memamerkan medali emasnya, beramah-tamah dengan presiden dan pejabat-pejabat negara, diundang mengisi acara-acara talkshow di televisi… Akhirnya mereka pun direkrut oleh universitas-universitas top dunia seperti MIT, Nanyang, NUS, dan mereka dengan senang hati menerimanya. Setelah mereka lulus, lalu bekerja di perusahaan hi-tech bonafid di negara tempat mereka kuliah yang membiayai pendidikan mereka.

Praktis, tidak ada manfaat yang signifikan bagi bangsa ini, tanah air putra-putri terbaik itu, yang dapat dikontribusikan dari prestasi mereka. Yang diperoleh hanyalah prestige, gengsi, yang mungkin itu sudah cukup bagi segelintir orang di negeri ini. Prestasi mereka mungkin hanyalah setetes air di tengah gurun. Setetes air tentu tidak mampu menghijaukan seluruh gurun. Prestasi mereka tetap saja tidak mampu mengangkat mutu pendidikan negeri ini. Di saat para orang tua kesulitan mendaftarkan anaknya sekolah karena uang pangkal yang mahal, gedung sekolah yang reot dan sering ambruk di desa-desa, bahkan di kota besar seperti Jakarta. Prestasi mereka juga tidak mampu menyemarakkan riset-riset sains dan teknologi di negeri ini.

Para orang-orang besar di atas rupanya lebih suka menyalurkan dana untuk pelatihan dan karantina para atlit olimpiade sains daripada menyuntikkan dana riset di universitas-universitas dan lembaga-lembaga riset dan IPTEK. Salah seorang dosen saya pun mengeluh karena pelitnya pemerintah mengeluarkan dana untuk riset, bahkan ada yang menerima tawaran untuk riset di negeri jiran. Dan salah seorang profesor emeritus di departemen saya juga menyangsikan manfaat event seperti olimpiade sains itu. “Yang penting itu dana riset!”, ujarnya.

Kalau dipikir-pikir, bukan hal yang luar biasa jika Indonesia kerap menjuarai ajang-ajang seperti itu. Medali emas hanya didominasi oleh segelintir negara dengan jumlah penduduk yang sangat banyak seperti RRC, India, dan Indonesia. Masak sih dari 220 juta orang kagak ade nyang jago???