Hal baru yang aku dapet adalah sumber inspirasi penulis dalam penulisan Ayat-Ayat Cinta, yaitu surat Zukhruf 67: Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa. Berdasarkan ayat itu, penulis ingin mendeskripsikan cinta yang suci adalah cinta yang berlandaskan ketakwaan. Cinta seorang ayah kepada anaknya, ketika tidak berlandaskan takwa, akan menjadi bumerang di akhirat nanti. Ketika si ayah memanjakan si anak atas nama cinta dan membiarkannya terjerumus dalam maksiat, niscaya anak itu akan menjadi musuh ayahnya di yaumul hisab kelak. Dalam novel Ayat-Ayat Cinta, jujur aja aku tergugah ketika membaca cerita Fakhri yang yang terancam dihukum mati karena difitnah telah memperkosa Noura. Aisha membujuk Fakhri agar bersedia menyuap polisi untuk membebaskan dia dari tuduhan pemerkosaan, namun Fakhri menolak. Alasannya adalah karena ia menginginkan cinta antara ia dgn Aisha berkekalan hingga akhirat kelak. Menyuap polisi adalah maksiat, dan itu dapat memisahkan dirinya dgn Aisha di akhirat.
Setelah baca novel itu, aku baru tau kalo suami istri yang bertakwa akan kembali disatukan di jannahNya. Ketika itu aku diskusi kecil dgn Ust Dahlan – beliau alumni Madinah dan baru selesai master bidang tafsir hadis di IIUM – dan memang ada hadis yang menyatakan hal itu. Bahkan ketika Rasulullah ditanya oleh seorang janda yang pernah menikah lebih dari sekali, Rasul menyatakan bahwa di surga kelak, ia boleh memilih salah satu di antara suaminya yang paling dicintai. Dan suami yang lain akan dipasangkan dgn bidadari surga. Wow, how lovely! Lalu Ust Dahlan nyindir, “Abis baca novel itu, apa perubahan yg dirasakan antum? jadi kepengen nikah?” “Sebelum baca novel itu juga saya udah kepengen nikah stad!” jawabku sambil cengengesan. “hehe, bagus bagus!”
Hal baru yg lain, penulis sedikit membocorkan proses pembuatan film layar lebar Ayat-Ayat Cinta. Penulis dgn produser udah membuat semacam agreement bahwa film ini adalah film islami dan harus dilaksanakan dgn cara2 yang benar2 islami. Penulis juga terlibat dalam penentuan para pemain2nya. Ternyata penentuan pemain yang akan memerankan karakter Aisha adalah yang paling berat. Gimana ngga berat, kalo harus cari artis perempuan shalihah yang keliatan seperti blasteran jerman-turki-palestina. Pertama kali, produser menawarkan Luna Maya sebagai Aisha. Waduh, penulis keberatan dan dgn bahasa yang baik, beliau mengatakan bahwa image Luna Maya sangat tidak sesuai dgn karakter Aisha. Tawaran yang lain lagi: Tamara Blezynski! wuaaa, penulis bilang kalo Tamara terlalu tua untuk memerankan Aisha. Aisha itu kan masih mahasiswa undergrad. Dan terakhir setelah melalui proses casting, and it seems to be perfect according to the producer, mereka menawarkan… believe it or not: Nadine Chandrawinata! Waaaa, sontak para peserta bedah buku yang mayoritas akhwat setengah berteriak, “ihhh nggak mauuuu!!!” Penulis pun saat itu juga kesulitan untuk menolaknya, karena Nadine memang, professionally, sangat tepat untuk memerankan Aisha dan telah menempuh casting terlebih dahulu. Akhirnya penulis dengan tegas menyatakan kalau ia sangat keberatan dgn artis non-muslim memerankan karakter Aisha yang seorang muslimah shalihah. Dan setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya disepakati untuk mencari artis Mesir untuk memerankan Aisha. Bukan berarti artis Mesir pada shalihah semua, tapi penulis bilang ada seorang artis muda yang cocok, ia juga berhijab, untuk memerankan figur Aisha, kalo ngga salah namanya Hana Al-Turk. Tapi problemnya lagi2 soal klasik: artis itu pasang harga 1 juta pound Mesir, atau sekitar 1.5 miliar rupiah! Wahh, bocoran selesai sampai di situ, kelanjutannya ga tau deh.
Kalau betul film ini jadi, mungkin akan jadi film yang paling ditunggu-tunggu, dan berharap akan jadi sarana dakwah dalam aspek seni dan sastra. Karena Rasulullah saw bersabda: Lembutkanlah hatimu dengan rehat, karena hati itu tidak terbuat dari besi atau batu. (Al-Hadis)