Alhamdulillah, Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah bersepakat untuk menyelesaikan masalah Ambalat dengan cara damai. Belakangan ini saya teramat sedih melihat sebagian rakyat Indonesia yang begitu mudah tersulut amarahnya menyikapi kasus ini. Ribuan orang, dari tukang becak sampai anggota DPR mendaftar untuk menjadi relawan ganyang Malaysia. Ya Allah… saya kira frase mengerikan tersebut sudah terkubur dalam-dalam sejak dipakai oleh Bung Karno (yang diprovokasi oleh PKI) dalam kasus konfrontasi dengan Malaysia tahun 60-an lalu. Namun sekarang kita sudah terbiasa mendengarnya dalam pemberitaan berbagai media massa. Mungkin dapat dipahami juga bahwa penyikapan-penyikapan tersebut merupakan akumulasi dari beberapa masalah yang melibatkan kedua negara bersaudara ini, terutama kasus terebutnya Sipadan-Ligitan dan kasus TKI ilegal.
Tetap saja di luar semua faktor tersebut, paham nasionalisme memang telah berhasil memorak-porandakan rasa persaudaraan ummat Islam di dunia. Paham inilah yang menyebabkan runtuhnya daulah Islamiyyah Turki Utsmani. Akibatnya, seluruh jazirah arabia dan afrika utara yang tadinya merupakan satu kesatuan kini telah terpecah belah menjadi puluhan negara yang mengusung paham nasionalisme arab.
Paham ini juga telah meruntuhkan rasa kepekaan kita sebagai bagian ummat Islam terhadap berbagai masalah dan penderitaan yang mendera beberapa negara muslim. Penderitaan rakyat Palestina, Afghanistan, diinvasinya Irak oleh Amerika Serikat, hanya menimbulkan sedikit respon dari kita yang tak terlalu signifikan. “Ah itu kan masalah dalam negeri mereka, biar aja mereka urus sendiri. Kita aja di sini masih susah mikirin harga2 yang makin naek.” Begitulah kira-kira pikiran sebagian dari kita.
Akan tetapi, menyikapi kasus Ambalat ini, amarah kita menjadi cepat sekali tersulut, bagai api bertemu minyak. Ribuan orang dengan begitu emosionalnya berdemonstrasi di jalan-jalan, mengumandangkan takbir (???), ‘mengadili’ para mahasiswa Malaysia yang tengah menuntut ilmu di sini, bahkan ada yang sudah mengorganisir latihan beladiri untuk persiapan perang dengan Malaysia (na’udzubillahi min dzalik!!!). Padahal dulu pemerintah ‘mencak-mencak’ mengetahui Laskar Jihad-nya ust. Ja’far Umar Thalib mengadakan latihan beladiri untuk melindungi kaum muslim di Maluku dari antek-anteknya Manuputty yang nyata-nyata melakukan makar terhadap NKRI.
Media massa yang seharusnya menenangkan situasi, eh malah mengapi-apikan (istilahnya menlu Malaysia, Syed Hamid Albar) suasana yang memang sudah telanjur panas ini. Metro TV dengan bangganya (mungkin…) selalu menampilkan video klip TNI yang sedang unjuk kebolehan dengan dilatarbelakangi lagu ‘Maju Tak Gentar’ untuk mengawali dan mengakhiri pemberitaan mengenai masalah ini, seolah-olah negara kita sudah mendeklarasikan peperangan.
Sebenarnya, saya pribadi juga tidak setuju dengan Malaysia yang dengan seenaknya memberikan konsesi kepada Shell untuk menambang minyak dan gas yang terkandung dalam perairan Ambalat. Padahal jelas-jelas menurut hukum internasional, garis batas antara dua negara tetap tidak berubah sejak Sipadan-Ligitan masuk teritori Malaysia. Saya juga menyesalkan sikap personil Tentara Diraja Malaysia yang melakukan pemukulan terhadap pekerja Indonesia yang tengah membangun mercusuar di Karang Unarang. Namun hendaknya, masalah ini diselesaikan dengan musyawarah. Sebagaimana yang telah digariskan dalam Al Qur’an, apabila terjadi perselisihan antara kaum Muslimin, hendaknya dimusyawarahkan.
Akhirnya, saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membukakan hati-hati kita, mata kita, pendengaran kita, pikiran kita, bahwa Ummat Islam adalah SATU!!!
Jalan kita masih panjang…